30 Desember 2022

INVESTIGASI OUTBREAK PENYAKIT MULUT DAN KUKU PADA TERNAK SAPI DI KOTA PONTIANAK TAHUN 2022

INVESTIGASI OUTBREAK PENYAKIT MULUT DAN KUKU PADA TERNAK SAPI DI KOTA PONTIANAK TAHUN 2022

Abstrak

Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease) merupakan penyakit virus yang bersifat akut dan sangat menular pada hewan berkuku belah, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ditandai dengan adanya lepuh pada mulut, gusi, lidah, lubang hidung, puting dan sekitar kuku dengan tingkat morbiditas biasanya tinggi mencapai 100% namun mortalitas/tingkat kematian untuk hewan dewasa biasanya sangat rendah, akan tetapi pada hewan muda bias mencapai 50%. PMK tidak bersifat zooosis namun memiliki dampak kerugian ekonomi yang sangat tinggi akibat turunnya produksi dan menjadi hambatan dalam perdagangan hewan dan produknya. Penyakit ini dapat ditularkan melalui kontak langsung dan melalui udara dengan jarak 10 kilometer dan dapat menjadi carier (pembawa penyakit). Tujuan penyidikan adalah untuk menentukan definisi kasus, mengumpulkan data dan informasi, melakukan pengambilan dan pengujian sampel, mengidentifikasi kemungkinan sumber/rute infeksi, mengidentifikasi faktor-faktor resiko, analisis data serta pemberian saran tindakan pengendalian. Penyidikan dilakukan melalui pencarian kasus aktif dari titik positif PMK maupun semi aktif dari laporan peternak terhadap ternak sapi yang menunjukkan gejala klinis, wawancara lisan kepada peternak, observasi lingkungan dan pemeriksaan laboratorium dengan uji PCR dan ELISA oleh Pusat Veteriner Farma Surabaya. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisa sederhana. Berdasarkan kerangka waktu (timeline), kisaran masa inkubasi adalah 14 hari. Diagnosa banding adalah laminitis/footroot, vesicular stomatitis, bovine malignant catarrhal fever. Peneguhan diagnosa dilakukan oleh Pusat Veteriner Farma Surabaya dengan pengujian sampel dari 12 ekor sapi. Pengujian yang dilakukan yaitu ELISA dengan hasil 4 ekor positif dan uji PCR dengan hasil 8 ekor positif. Sampel pengujian yang diambil untuk 9 ekor sapi adalah serum, plasma, dan swab, dan 3 ekor serum dan plasma. Hasil penyidikan menunjukkan bahwa kemungkinan sumber infeksi adalah sapi asal Jawa Timur yang dibeli peternak di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Kubu Raya. Rekomendasi pengendalian adalah membentuk satuan tugas penanganan PMK di tingkat Kota, melakukan komunikasi informasi dan edukasi kepada peternak, petugas, dan masyarakat (melalui media sosial ataupun sosialisasi langsung), meningkatkan biosecurity (kontrol lalu lintas orang, pembersihan dan desinfeksi kandang), penetapan prosedur penanganan sapi bergejala di RPH, pelaksanaan respon cepat/investigasi kasus, tindakan pengobatan dan atau pengebalan, kerjasama lintas sektor, dan meningkatkan kontrol lalu lintas ternak antar Kabupaten/Kota.

Kata kunci : investigasi outbreak, Penyakit Mulut dan Kuku, sapi

 

PENDAHULUAN

Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease) disebabkan oleh Apthovirus, keluarga Picornaviridae. Terdapat 7 serotipe PMK yang telah diidentifikasi yaitu tipe Oise (O), Allemagne (A), German Strain (C), South African Territories 1 (SAT 1), SAT 2, SAT 3, dan Asia 1. Tipe O, A, C, SAT 1, SAT 2, SAT 3, dan Asia 1 tersebut secara imunologis berbeda satu sama lain. PMK merupakan penyakit virus yang bersifat akut dan sangat menular pada hewan berkuku belah (cloven-hoofed). Hewan berkuku belah yang rentan seperti jenis ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba, rusa), babi, unta dan beberapa jenis hewan liar seperti bison, antelope, menjangan, jerapah, dan gajah. PMK merupakan penyakit yang sangat menular, Hewan peka tertular melalui jalur inhalasi, ingesti, dan mealalui perkawinan alami atau buatan. Namun penularan yang umum adalah melalui kontak dan pernapasan (aerosol). Penyebaran oleh angin juga bisa terjadi sampai 10 kilometer tergantung kondisi lingkungan. Sapi, kerbau, domba, dan kambing yang sembuh dari PMK dapat berperan sebagai carrier. Sapi bisa terus mengeluarkan virus dari faring sampai lebih dari 2 tahun dan kambing bisa mencapai 9 bulan. PMK tidak bersifat zooosis namun memiliki dampak kerugian ekonomi yang sangat tinggi akibat turunnya produksi dan menjadi hambatan dalam perdagangan hewan dan produknya. Nama lain penyakit ini antara lain apthae epizootica (AE), apthous fever, foot and mouth disease (FMD). Masa inkubasi dipengaruhi oleh strain virus PMK, dosis, dan rute infeksi. Untuk infeksi alami dengan dosis yang besar, masa inkubasi berkisar antara 2-3 hari, akan tetapi apabila dosisnya sedikit, masa inkubasi bisa mencapai 10-14 hari. Maksimum masa inkubasi yang disarankan sesuai pedoman OIE adalah 14 hari. Indonesia pernah mengalami beberapa kali wabah PMK sejak penyakit ini pertama kali masuk pada tahun 1887 melalui impor sapi dari Belanda. Wabah PMK terakhir terjadi di pulau Jawa pada tahun 1983 yang kemudian dapat diberantas melalui program vaksinasi massal. Indonesia dinyatakan sebagai negara bebas PMK pada tahun 1986 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 260/KPTS/TN.510/5/1986 dan kemudian diakui oleh OIE pada tahun 1990 dengan resolusi nomor XI. Penyebab PMK di Indonesia pada tahun 1983 maupun 2022 masih dalam satu serotipe yang sama yaitu serotipe O. Khusus Asia Tenggara, PMK endemik di sebagian besar Negara anggoata ASEAN seperti Kamboja, Laos, Malaysia (semenanjung), Myanmar (bagian Utara), Filipina, Thailand dan Vietnam. Adanya gejala klinis tertentu pada hewan berkuku genap/belah yang bersifat akut dan missal (menyerang banyak hewan di satu kelompok) harus dicurigai sebagai kemungkinan besar serangan PMK. Beberapa gejala yang nampak seperti kepincangan yang bersifat akut pada beberapa hewan, hipersalivasi, saliva terlihat menggantung, air liur berbusa di lantai kandang, pembengkakan kelenjar submandibular, vesikel/lepuh dan atau erosi di sekitar mulut, gusi, lidah, lubang hidung (nostril), puting dan kulit di sekitar kuku/teracak (coronary band), hewan lebih sering berbaring, demam tinggi mencapai 41ºC, dan penurunan produksi susu yang drastis pada sapi perah. Morbiditas biasanya tinggi mencapai 100% namun mortalitas/tingkat kematian untuk hewan dewasa biasanya sangat rendah, akan tetapi pada hewan muda bias mencapai 50%. Selama rentang 36 tahun Indonesia dinyatakan bebas PMK tanpa vaksinasi akhirnya pada bulan Mei tahun 2022 PMK muncul kembali di Indonesia pertama kali di Provinsi Aceh dan Jawa Timur yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 403/KPTS/PK.300/M/05/2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/KPTS/PK.300/M/05/2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh. Munculnya kasus PMK terutama di Jawa Timur mempengaruhi perdagangan sapi maupun kambing hidup ke Kota Pontianak, sebab bakalan sapi potong ataupun kambing yang dipelihara sebagian besar dari Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data BPS Kota Pontianak, populasi hewan berkuku genap/belah di Kota Pontianak pada tahun 2021 adalah sapi potong 2.392 ekor, kambing 1.825 ekor, dan babi 1.540 ekor. Sebagian besar populasi ternak sapi potong di Kota Pontianak merupakan bakalan sapi potong (untuk penggemukan). Kasus suspek PMK di Kota Pontianak pertama kali muncul pada tanggal 11 Mei 2022 di Kelurahan Parit Tokaya, Kecamatan Pontianak Selatan di kandang peternak Supardi. Setelah diinvestigasi diketahui bahwa terdapat 2 (dua) ekor ternak sapi asal Jawa Timur yang baru dibeli pada tanggal 3 Mei. Sebelumnya pada tanggal 29 April terdapat informasi kejadian suspek PMK pada ternak kambing di Mempawah. Kemudian pada tanggal 9 Mei terdapat informasi gejala PMK pada 50 (lima puluh) ekor sapi di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Kabupaten Kubu Raya. Diketahui bahwa sapi tersebut satu kapal dengan kambing bergejala di Mempawah yang datang ke IKH pada tanggal 25 April 2022. Belakangan juga diketahui bahwa terdapat beberapa peternak sapi di Kota Pontianak yang membeli sapi asal Jawa Timur dari IKH.

TUJUAN

Tujuan penyidikan adalah untuk menentukan definisi kasus, mengumpulkan data dan informasi, melakukan pengambilan dan pengujian sampel, mengidentifikasi kemungkinan sumber/rute infeksi, mengidentifikasi faktor-faktor resiko, analisis data serta pemberian saran tindakan pengendalian yang tepat dan cepat.

METODE

Penyidikan dilakukan dengan membuat definisi kasus, untuk mengelompokkan dan menemukan kejadian penyakit dengan gejala klinis. Tahapan pengumpulan data dan informasi kejadian diperoleh ini melalui pencarian/penelusuran kasus aktif di sekitar kandang yang berdekatan dengan titik positif PMK maupun semi aktif dari laporan peternak terhadap ternak sapi yang menunjukkan gejala klinis. Selama penelusuran yang dilakukan melalui respon cepat kasus tersebut juga dilakukan wawancara lisan kepada peternak untuk menggali informasi penting terkait sumber penularan/rute infeksi dan observasi lingkungan untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang tidak diperoleh dari wawancara peternak. Investigasi laboratorium melalui pengambilan sampel serum, plasma, dan swab pada sapi dengan ataupun tanpa gejala klinis yang dilakukan oleh Tim Balai Veteriner Banjarbaru didampingi oleh Tim Dinas Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Pontianak dan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat di lokasi kasus pertama kali yaitu di Jl. Karya Baru, Kelurahan Parit Tokaya, Kecamatan Pontianak Selatan pada tanggal 12 Mei 2022. Pengujian laboratorium dilakukan oleh Pusat Veteriner Farma Surabaya. Sebanyak 12 ekor sapi yang diambil sampelnya. Sampel pengujian yang diambil adalah 12 sampel serum dan plasma serta 8 sampel swab. Pengujian yang dilakukan yaitu ELISA dan PCR.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kronologis Outbreak Berawal dari laporan peternak terkait adanya sapi yang sakit dengan gejala hipersalivasi yang berlokasi di Jalan Karya Baru, Kelurahan Parit Tokaya, Kecamatan Pontianak Selatan. Hasil penelusuran ke lokasi yaitu di kandang peternak Supardi pada tanggal 11 Mei 2022, setelah dilakukan pemeriksaan fisik kesehatan terhadap 8 ekor sapi yang berada di kandang tersebut diketahui bahwa ternak sapi yang dipelihara menunjukkan gejala mulut berliur dan berbusa, lepuh pada gusi, lidah dan teracak yang mengarah pada gejala klinis PMK. Satu kandang lainnya terletak tidak jauh dari kandang suspek juga menunjukkan gejala klinis yang sama. Hasil wawancara dengan peternak didapat informasi bahwa sebelumnya terdapat 3 ekor sapi yang baru dibeli dan ditempatkan di kandang yang sama dengan 8 ekor sapi yang sakit sekarang. Sapi baru tersebut dibeli pada tanggal 3 Mei 2022 dari kandang penampungan di Instalansi Karantina Hewan (IKH) yang beralamat di Desa Madusari, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Pada saat dibeli sapi tersebut tidak menunjukkan gejala sakit. Namun seiring waktu sapi tersebut menunjukkan gejala dan saat penelusuran ke kandang sapi tersebut telah dijual dan tidak dapat ditelusuri tujuan penjualannya.

Gambar 1. Investigasi Kasus Pertama Kali di Kecamatan Pontianak Selatan

Berdasarkan observasi terhadap lingkungan diketahui bahwa peternak tidak menerapkan prinsip biosecurity di sekitar kandang karena manajemen pemeliharan sapi tersebut sangat sederhana, tidak terdapat pembatas atau pagar yang membatasi keluar masuk orang atau hewan, siapapun bisa berkunjung ke kandang, tidak terdapat penggantian alas kaki atau pakaian oleh peternak. Di sekitar kandang juga masih terdapat kandang-kandang peternak lainnya yang tentunya sangat beresiko terhadap penularan PMK melalui lalu lintas orang. Sebelumnya didapat informasi perkembangan kasus PMK di luar Kota Pontianak dari Tim Gabungan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat bahwa pada tanggal 29 April 2022 ditemukan kasus suspek PMK pada 1 ekor kambing peternak Romi yang berada di Desa Sungai Nipah, Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah yang dibeli dari IKH, kemudian pada tanggal 1 Mei semua kambing yang ada (total 3 ekor) menunjukkan gejala sakit yang sama yaitu demam, tidak mau makan, terdapat luka pada teracak yang menyebabkan kepincangan. Hasil penelusuran Tim Gabungan diketahui bahwa kambing tersebut datang dari Jawa Timur menggunakan kapal di IKH Kubu Raya pada tanggal 25 April 2022. Kemudian pada tanggal 9 Mei terdapat informasi gejala PMK pada 50 (lima puluh) ekor sapi di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Kabupaten Kubu Raya. Diketahui bahwa sapi tersebut satu kapal dengan kambing bergejala di Mempawah yang datang ke IKH pada tanggal 25 April 2022.

Pada malam hari tanggal 11 Mei 2022 dilakukan pengawasan ante mortem di RPH sapi Nipah Kuning Jl. Pelabuhan Rakyat, Kelurahan Sungai Beliung, Kecamatan Pontianak Barat dan hasilnya ditemukan 1 ekor sapi asal Jl. Karet Pontianak, 2 ekor sapi asal Jl. Petani Pontianak, dan 1 ekor sapi dari IKH Karantina (asal Jawa Timur) bergejala PMK. Gejala yang nampak antara lain mulut berliur, cairan berbusa di lantai pemotongan, lepuh di gusi dan lidah, serta luka di teracak. Beberapa sapi bergejala tetap dilakukan pemotongan meskipun sudah ditolak, sedangkan sapi asal Karantina tidak jadi dipotong di RPH sesuai dengan kesepakatan dengan petugas dari Karantina. Keputusan penolakan sesuai dengan hasil rapat sebelumnya dengan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat.

Gambar 2. Pengawasan di Rumah Pemotongan Sapi Nipah Kuning

Pada tanggal 12 Mei 2022 Tim Balai Veteriner Banjarbaru didampingi oleh Tim Dinas Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Pontianak dan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat melakukan pengambilan sampel untuk pengujian laboratorium PMK di lokasi kasus pertama kali yaitu di Jl. Karya Baru, Kelurahan Parit Tokaya, Kecamatan Pontianak Selatan. Adapun sampel yang diambil dari 12 ekor sapi adalah 12 sampel serum dan plasma, serta 8 sampel swab. Pengujian laboratorium dilakukan oleh Pusat Veteriner Farma Surabaya. Pengujian yang dilakukan yaitu ELISA dan PCR. Pada tanggal 16 Mei 2022 hasil pengujian dari Pusvetma Surabaya keluar

Gambar 3. Tim Gabungan Pengambilan Sampel Suspek PMK

Berdasarkan hasil temuan pengawasan di RPH tanggal 11 Mei 2022, dilakukan investigasi pada tanggal 13 Mei 2022 ke Jl. Karet Gg. Peramas, Kecamatan Pontianak Barat dan ditemukan sapi bergejala di kandang sapi peternak Sahran, Matrui, dan Ali. Diketahui bahwa peternak Ali ada mendatangkan 4 ekor sapi asal Jawa Timur yang digabung dengan sapi yang sebelumnya telah dipelihara. Gejala yang nampak yaitu yaitu mulut berliur berbusa (hipersalivasi), gusi dan lidah ada lepuh, dan luka pada kaki bahkan ada yang kukunya hampir lepas. Tim Dinas langsung melakukan tindakan pengobatan, sosialisasi penyakit untuk penanganan mandiri (obat-obatan herbal atau topikal) serta pelaporan kasus dan tindakan untuk biosecurity kandang dan kontrol lalu lintas orang maupun ternak. Peternak diminta untuk tidak menjual atau memindahkan sapi sakit ke lokasi lain, serta fokus untuk kesembuhan sapi sebab tingkat kematian PMK sangat rendah (5-10%). Peternak diberikan cairan desinfektan untuk pembersihan kandang, dipping alas kaki setiap masuk dan keluar dari kandang.

Gambar 4. Investigasi Kasus PMK Baru di Kecamatan Pontianak Barat

Pemantauan lingkungan sekitar kandang sama seperti kandang lainnya yang ditemukan kasus positif, yaitu lokasi kandang satu dengan lainnya saling berdekatan dan berada persis di pinggir jalan tanpa ada pagar pembatas. Alat angkut (pick up) untuk transportasi sapi tidak dilakukan desinfeksi dan diduga menjadi media penular PMK dengan ternak sapi lainnya yang sebelumnya sehat. Selain itu juga terdapat takal/katrol untuk pemotongan sapi di dekat kandang tersebut. Berdasarkan Kiatvetindo, penyakit PMK sangat menular karena dapat dengan mudah menyebar melalui kontak langsung dan aerosol, lalu lintas hewan, produk hewan, benda dan orang yang terkontaminasi virus PMK. Sapi sangat peka terhadap terjadinya penularan lewat respirasi mengingat volume udara yang dihirup jauh lebih besar dari hewan lainnya. Virus telah mulai dihembuskan lewat pernapasan sekitar 10 hari sebelum munculnya gejala klinis. Penyebaran virus melalui angin dengan kandungan virus PMK dimungkinkan terjadi apabila kondisi lingkungan dan cuaca mendukung. Dari titik kasus, daerah dalam radius 10 km perlu dipertimbangkan sebagai populasi terancam, dengan catatan tidak terjadi perpindahan ternak dari titik kasus. Hal ini yang menyebabkan mudahnya penularan PMK dari satu ternak sapi dengan ternak sapi lainnya yang berada dalam satu area berdekatan. Sejumlah besar virus diekskresikan oleh hewan tertular sebelum hewan tersebut menunjukkan gejala klinis.

Data Pengambilan Sampel Suspek PMK dan Hasil Pengujian di Kota Pontianak Tahun 2022
Nama Kecamatan Hewan Serum (Elisa) Plasma (PCR) Swab (PCR) Interpretasi Hasil
Mustakim Pontianak Selatan Sapi (-) (-)   (-)
Jalaludin Pontianak Selatan Sapi (-) (-)   (-)
Marhasan Pontianak Selatan Sapi (+) (-) (+) (+)
Marhasan Pontianak Selatan Sapi (+) (-) (+) (+)
Supardi Pontianak Selatan Sapi (+) (+) (+) (+)
Supardi Pontianak Selatan Sapi (-) (+) (+) (+)
Supardi Pontianak Selatan Sapi (-) (+) (+) (+)
Kosim Pontianak Selatan Sapi (+) (+) (+) (+)
Kosim Pontianak Selatan Sapi (-) (+) (+) (+)
Kosim Pontianak Selatan Sapi (-) (+) (+) (+)
Pusar Pontianak Selatan Sapi (-) (-)   (-)
Naim Pontianak Selatan Sapi (-) (-)   (-)

Beberapa sampel yang diambil berasal dari sapi yang belum menunjukkan gejala klinis yaitu sapi peternak Mustakim, Jalaludin, Pusar, dan Naim, sesuai dengan hasil pengujian laboratorium pada tabel 1 di atas. Sedangkan sapi yang lain ada yang masih menunjukkan lesi lepuh di mulut dan ada pula yang sudah menunjukkan kesembuhan pada lesi di mulut. Temuan kasus selanjutnya adalah dari Belakangan juga diketahui bahwa terdapat beberapa peternak sapi di Kota Pontianak yang membeli sapi asal Jawa Timur dari IKH yang memulai penyebaran penyakit lebih luas.

Seiring perkembangan, kasus semakin menyebar ke beberapa kecamatan lainnya, selain Kecamatan Pontianak Selatan dan Pontianak Barat, disebabkan karena lalu lintas hewan yang tidak dapat diatasi di tengah wabah, meskipun telah dilakukan KIE setiap penelusuran dan pengobatan di kasus PMK baru kepada peternak.

KESIMPULAN

Investigasi outbreak Penyakit Mulut dan Kuku pada ternak sapi di Kota Pontianak tahun 2022 dapat disumpulkan bahwa :

  1. Penyakit yang menyerang ternak sapi di Kota Pontianak dengan gejala hipersalivasi, lepuh pada gusi dan lidah, dan luka pada teracak adalah Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease);
  2. Sumber penularan adalah masuknya ternak sapi asal Jawa Timur yang diduga sedang dalam masa inkubasi yang kemudian tersebar ke Kota Pontianak dari transaksi perdagangan sapi hidup;
  3. Faktor resiko penularan Penyakit Mulut dan Kuku pada ternak sapi adalah peternak tidak menerapkan prinsip biosecurity seperti kandang tanpa pembatas atau pagar yang membatasi keluar masuk orang atau hewan, siapapun bisa berkunjung ke kandang, tidak terdapat penggantian alas kaki atau pakaian oleh peternak, tidak dilakukan desinfeksi alat angkut serta tidak ada karantina hewan sakit yang ditandai masih dilakukan panic selling dan atau pemotongan paksa ternak sakit tanpa mengikuti protokol penanggulangan PMK.
  4. Rekomendasi pengendalian adalah membentuk satuan tugas penanganan PMK di tingkat Kota, melakukan komunikasi informasi dan edukasi kepada peternak, petugas, dan masyarakat (melalui media sosial ataupun sosialisasi langsung), meningkatkan biosecurity (kontrol lalu lintas orang, pembersihan dan desinfeksi kandang), penetapan prosedur penanganan sapi bergejala di RPH, pelaksanaan respon cepat/investigasi kasus, tindakan pengobatan dan atau pengebalan, kerjasama lintas sektor, dan meningkatkan kontrol lalu lintas ternak antar Kabupaten/Kota.

SARAN

  1. Lebih aktif melakukan komunikasi informasi dan edukasi kepada peternak terkait biosecurity untuk memutus rantai penularan baik melalui media sosial ataupun sosialisasi langsung terkait pengendalian penyebaran PMK;
  2. Memperketat kerjasama lintas sektoral terutama yang terkait dengan pengawasan lalu lintas ternak dari dan ke Kota Pontianak.

Op. Bid Peternakan